Kali Ini Saya akan mempost karena kebanyakan orang ada yang belum tahu atau belum memahaminya secara benar.Sholat dalam bahasa berarti doa , karena pada setiap gerakan sholat terdapat bacaan doa.
c.
Belum Masuk Waktu
Ada 7 Hal Yang Membatalkan Sholat:
1.Kehilangan Salah Satu Syarat Sah Sholat.
Syarat sah sholat adalah syarat yang menyebabkan sahnya sholat.
a.
Murtad
Syarat pertama orang yang mengerjakan
shalat adalah statusnya harus menjadi seorang muslim. Bila status keislamannya
terlepas, maka otomatis shalatnya menjadi batal.
Maka orang yang sedang melakukan shalat,
lalu tiba-tiba murtad, maka batal shalatnya. Mungkin ada orang yang bertanya,
bagaimana bisa seseorang yang sedang shalat, tiba-tiba berubah menjadi murtad?
Murtad atau keluar dari agama Islam bisa
saja terjadi tiba-tiba, misalnya ketika seseorang tiba-tiba mengingkari wujud
Allah SWT, atau mengingkari kerasulan Muhammad SAW, termasuk juga mengingkari
kebenaran agama Islam sebagai agama satu-satunya yang Allah ridhai. Bila sesaat
setan masuk ke dalam pikiran sambil meniupkan pikiran sesatnya itu, lalu
seseorang itu sampai kepada tingkat meyakini apa yang ditiupkan setan itu, maka
boleh jadi tidak sempat murtad sebentar.
Kalau pun saat itu dia segera sadar, maka
shalat yang dilakukannya dianggap batal dan harus diulang lagi. Mengapa
demikian?
Karena kekufuran itu merusak amal dan
membuatnya menjadi sia-sia. Dalilnya adalah firman Allah SWT :
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Jika kamu mempersekutukan niscaya akan
hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Az-Zumar : 65)
b.
Gila
Syarat Kedua orang yang mengerjakan sholat adalah berakal sehat.Demikian juga dengan orang yang tiba-tiba
menjadi gila atau hilang akal saat sedang shalat, maka shalatnya juga batal.
Sebab syarat sah dalam ibadah shalat salah
satunya adalah berakal. Shalat yang dilakukan oleh orang gila atau kehilangan
akalnya, tentu shalat itu tidak sah. Dan bila gila itu datangnya kumat-kumatan,
sebentar datang dan sebentar hilang, maka bila terjadi ketika sedang shalat,
maka shalat itu menjadi batal.
Di antara syarat sah shalat adalah bahwa
mengetahui bahwa waktu shalat sudah masuk. Sebab shalat itu tidak sah dilakukan
bila belum lagi masuk waktunya.
Maka bila seseorang yang sedang
mengerjakan shalat, kemudian terbukti bahwa di tengah shalat itu baru masuk
waktunya, otomatis shalatnya itu menjadi batal dengan sendirinya.
Hukum shalat sebelum waktunya jauh berbeda
dengan shalat yang dilakukan pada waktu yang sudah terlewat. Bila waktunya
sudah lewat, shalat masih sah dilakukan, bahkan dalam kaitanya dengan shalat
fardhu, hukumnya tetap wajib dikerjakan.
d.
Tersentuh Najis
Suci dari najis adalah salah satu syarat
sah shalat. Tidak sah shalat seseorang kalau badan, pakaian atau tempatnya
shalatnya masih terkena najis. Maka bila ditengah-tengah shalat seseorang
terkena atau tersentuh benda-benda najis, maka secara otomatis shalatnya itu
pun menjadi batal.
Namun yang perlu diperhatikan adalah
batalnya shalat itu hanya apabila najis itu tersentuh tubuhnya atau pakaiannya.
Adapun tempat shalat itu sendiri bila
mengandung najis, namun tidak sampai tersentuh langsung dengan tubuh atau
pakaian, shalatnya masih sah dan bisa diteruskan. Asalkan dia bergeser dari
tempat dimana najis itu terjatuh.
Selain sumber najis itu dari luar, bisa
juga najis itu datang dari dalam tubuh sendiri. Maka bila ada najis yang keluar
dari tubuhnya hingga terkena tubuhnya, seperti mulut, hidung, telinga atau
lainnya, maka shalatnya batal.
Namun bila kadar najisnya hanya sekedar
najis yang dimaafkan, yaitu najis-najis kecil ukurannya, maka hal itu tidak
membatalkan shalat.
e.
Mengalami Hadats Kecil
Bila seseorang mengalami hadats besar atau
kecil, maka batal pula shalatnya, baik hal itu terjadi tanpa sengaja atau
secara sadar, ataupun dengan sengaja dan sepenuh kesadaran.
Hal-hal yang membuat seseorang berhadats
kecil dan bisa membatalkan wudhu' ada beberapa hal. Sebagian disepakati para
ulama dan sebagian lainnya masih menjadi khilaf atau perbedaan pendapat.
- Keluarnya Sesuatu Lewat Kemaluan
Yang dimaksud kemaluan itu termasuk bagian
depan dan belakang. Dan yang keluar itu bisa apa saja termasuk benda cair
seperti air kencing, mani, wadi, mazi, atau apapun yang cair. Juga berupa benda
padat seperti kotoran, batu ginjal, cacing atau lainnya.
Pendeknya apapun juga benda gas seperti
kentut. Kesemuanya itu bila keluar lewat dua lubang qubul dan dubur membuat
wudhu' yang bersangkutan menjadi batal.
Dasarnya adalah firman Allah SWT berikut
ini :
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
Atau bila salah seorang dari kamu datang
dari tempat buang air. (QS. Al-Maidah : 6)
Juga berdasarkan hadits nabawi :
إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَل عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa
Rasulullah SAW bersasabda,”Bila seseorang dari kalian mendapati sesuatu pada
perutnya lalu dia merasa ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka
tidak perlu dia keluar dari masjid, kecuali dia mendengar suara atau mencium
baunya”. (HR. Muslim)
- Tidur
Tidur yang bukan dalam posisi tetap (tamakkun)
di atas bumi. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW
مَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأ
Siapa yang tidur maka hendaklah dia
berwudhu' (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Tidur yang membatalkan wudhu adalah
tidur yang membuat hilangnya kesadaran seseorang. Termasuk juga tidur dengan
berbaring atau bersandar pada dinding. Sedangkan tidur sambil duduk yang tidak
bersandar kecuali pada tubuhnya sendiri tidak termasuk yang membatalkan wudhu'
sebagaimana hadits berikut :
عَنْ أَنَسٍ رَضي الله عنه قاَلَ كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهيَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلاَ يَتَوَضَّؤُنَ - رواه مسلم - وزاد أبو داود : حَتَّى تَخْفَق رُؤُسُهُم وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ
Dari Anas radhiyallahuanhu berkata bahwa
para shahabat Rasulullah SAW tidur kemudian shalat tanpa berwudhu' (HR. Muslim)
Abu Daud menambahkan : Hingga
kepala mereka terkulai dan itu terjadi di masa Rasulullah SAW.
- Hilang Akal
Hilang akal baik karena mabuk atau sakit.
Seorang yang minum khamar dan hilang akalnya karena mabuk maka wudhu' nya
batal. Demikian juga orang yang sempat pingsan tidak sadarkan diri juga batal
wudhu'nya.
Demikian juga orang yang sempat kesurupan
atau menderita penyakit ayan dimana kesadarannya sempat hilang beberapa waktu
wudhu'nya batal. Kalau mau shalat harus mengulangi wudhu'nya.
- Menyentuh Kemaluan
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأ
Siapa yang menyentuh kemaluannya maka
harus berwudhu (HR. Ahmad dan At-Tirmizy)
Para ulama kemudian menetapkan dari hadits
ini bahwa segala tindakan yang masuk dalam kriteria menyentuh kemaluan
mengakibatkan batalnya wudhu. Baik menyentuh kemaluannya sendiri ataupun
kemaluan orang lain. Baik kemaluan laki-laki maupun kemaluan wanita. Baik
kemaluan manusia yang masih hidup ataupun kemauan manusia yang telah mati
(mayat). Baik kemaluan orang dewasa maupun kemaluan anak kecil. Bahkan para
ulama memasukkan dubur sebagai bagian dari yang jika tersentuh membatalkan
wudhu.
Namun para ulama mengecualikan bila
menyentuh kemaluan dengan bagian luar dari telapak tangan dimana hal itu tidak
membatalkan wudhu'.
- Menyentuh Kulit Lawan Jenis
Sebab perbedaan pendapat mereka didasarkan
pada penafsiran ayat Al-Quran yaitu :
أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
Atau kamu telah menyentuh perempuan,
kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang
baik. (QS. An-Nisa : 43)
Sebagian ulama mengartikan kata
‘menyentuh’ sebagai kiasan yang maksudnya adalah jima’ (hubungan seksual).
Sehingga bila hanya sekedar bersentuhan kulit tidak membatalkan wuhu’.
Ulama kalangan As-Syafi’iyah cenderung
mengartikan kata ‘menyentuh’ secara harfiyah, sehingga menurut mereka sentuhan
kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu membatalkan wudhu’.
Menurut mereka bila ada kata yang
mengandung dua makna antara makna hakiki dengan makna kiasan, maka yang harus
didahulukan adalah makna hakikinya. Kecuali ada dalil lain yang menunjukkan
perlunya menggunakan penafsiran secara kiasan.
Dan Imam Asy-Syafi’i nampaknya tidak
menerima hadits Ma’bad bin Nabatah dalam masalah mencium.
Namun bila ditinjau lebih dalam
pendapat-pendapat di kalangan ulama Syafi’iyah, sebenarnya kita masih juga
menemukan beberapa perbedaan. Misalnya sebagian mereka mengatakan bahwa yang
batal wudhu’nya adalah yang sengaja menyentuh sedangkan yang tersentuh tapi
tidak sengaja menyentuh maka tidak batal wudhu’nya.
Juga ada pendapat yang membedakan antara
sentuhan dengan lawan jenis non mahram dengan pasangan (suami istri). Menurut
sebagian mereka bila sentuhan itu antara suami istri tidak membatalkan wudhu’.
Dan sebagian ulama lainnya lagi
memaknainya secara harfiyah sehingga menyentuh atau bersentuhan kulit dalam
arti fisik adalah termasuk hal yang membatalkan wudhu’. Pendapat ini didukung
oleh Al-Hanafiyah dan juga semua salaf dari kalangan shahabat.
Sedangkan Al-Malikiyah dan jumhur
pendukungnya mengatakan hal sama kecuali bila sentuhan itu dibarengi dengan
syahwat (lazzah) maka barulah sentuhan itu membatalkan wudhu’.
Pendapat mereka dikuatkan dengan adanya
hadits yang memberikan keterangan bahwa Rasulullah SAW pernah menyentuh para
istrinya dan langsung mengerjakan shalat tanpa berwudhu’ lagi.
أنَّ النَّبِيَّ كَانَ يُقَبِّلُ بَعْضَ أَزْوَاجِهِ ثُمَّ يُصَلِّي وَلَا يَتَوَضَّأُ
Dari Habib bin Abi Tsabit dari Urwah dari
Aisyah radhiyallahuanhadari Nabi SAW bahwa Rasulullah SAW mencium sebagian
istrinya kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu”.(HR. Turmuzi Abu Daud An-Nasai Ibnu Majah dan
Ahmad).
g.
Mengalami Hadats Besar Selain terkena hadats kecil, yang ikut
juga membatalkan seseorang dari shalatnya adalah terkena atau mendapatkan
hadats besar. Maksudnya, kalau pada saat sedang shalat, seseorang mengalami
hal-hal yang mengakibatkan terjadinya hadats besar, maka secara otomatis
shalatnya batal.
Para ulama menetapkan paling tidak ada 6
hal yang mewajibkan seseorang untuk mandi janabah. Tiga hal di antaranya dapat
terjadi pada laki-laki dan perempuan. Tiga lagi sisanya hanya terjadi
pada perempuan.
- Keluar Mani
Keluarnya air mani menyebabkan seseorang
mendapat janabah baik dengan cara sengaja (masturbasi) atau tidak. Dasarnya
adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله تعالى عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ الْمَاءُ مِنْ الْمَاءِ
Dari Abi Said Al-Khudhri radhiyallahuanhu
berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda"Sesungguhnya air itu (kewajiban
mandi) dari sebab air (keluarnya sperma).
(HR. Bukhari dan Muslim)
Namun ada sedikit berbedaan pandangan
dalam hal ini di antara para fuqaha'.
Mazhab Al-Hanafiyah Al-Malikiyah dan
Al-Hanabilah mensyaratkan keluarnya mani itu karena syahwat atau dorongan
gejolak nafsu baik keluar dengan sengaja atau tidak sengaja. Yang penting ada
dorongan syahwat seiring dengan keluarnya mani. Maka barulah diwajibkan mandi
janabah.
Sedangkan mazhab Asy-syafi'iyah
memutlakkan keluarnya mani baik karena syahwat ataupun karena sakit semuanya
tetap mewajibkan mandi janabah.
Sedangkan air mani laki-laki itu sendiri
punya ciri khas yang membedakannya dengan wadi dan mazi :
- Dari aromanya air mani memiliki aroma seperti aroma 'ajin (adonan
roti). Dan seperti telur bila telah mengering.
- Keluarnya dengan cara memancar sebagaimana firman Allah SWT : من ماء دافق
- Rasa lezat ketika keluar dan setelah itu syahwat jadi mereda.
Mani Wanita
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ -وَهِيَ اِمْرَأَةُ أَبِي طَلْحَةَ- قَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ اَللَّهَ لَا يَسْتَحِي مِنْ اَلْحَقِّ فَهَلْ عَلَى اَلْمَرْأَةِ اَلْغُسْلُ إِذَا اِحْتَلَمَتْ ؟ قَالَ: نَعَمْ. إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ
Dari Ummi Salamah radhiyallahu anha bahwa
Ummu Sulaim istri Abu Thalhah bertanya"Ya Rasulullah sungguh Allah tidak
mau dari kebenaran apakah wanita wajib mandi bila keluar mani? Rasulullah SAW
menjawab"Ya bila dia melihat mani keluar". (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menegaskan bahwa wanita pun
mengalami keluar mani bukan hanya laki-laki.
- Bertemunya Dua Kemaluan
Termasuk juga bila dimasukkan ke dalam
dubur baik dubur wanita ataupun dubur laki-laki baik orang dewasa atau anak
kecil. Baik dalam keadaan hidup ataupun dalam keadaan mati. Semuanya mewajibkan
mandi di luar larangan perilaku itu.
Hal yang sama berlaku juga untuk wanita
dimana bila farajnya dimasuki oleh kemaluan laki-laki baik dewasa atau anak
kecik baik kemaluan manusia maupun kemaluan hewan baik dalam keadaan hidup atau
dalam keadaan mati termasuk juga bila yang dimasuki itu duburnya. Semuanya
mewajibkan mandi di luar masalah larangan perilaku itu.
Semua yang disebutkan di atas termasuk
hal-hal yang mewajibkan mandi meskipun tidak sampai keluar air
mani. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ الله ِ قَالَ : إِذَا الْتَقَى الخَتَاناَنِ أَوْ مَسَّ الخِتَانُ الخِتَانَ وَجَبَ الغُسْلُ فَعَلْتُهُ أَنَا وَرَسُولُ اللهِ فَاغْتَسَلْنَا
Dari Aisyah radhiyallahuanhaberkata bahwa
Rasulullah SAW bersabda"Bila dua kemaluan bertemu atau bila kemaluan
menyentuh kemaluan lainnya maka hal itu mewajibkan mandi janabah. Aku
melakukannya bersama Rasulullah SAW dan kami mandi.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ إذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدهَا فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ وَزَادَ مُسْلِمٌ : " وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ "
Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu berkata
bahwa Rasulullah SAW bersabda"Bila seseorang duduk di antara empat
cabangnya kemudian bersungguh-sungguh (menyetubuhi) maka sudah wajib mandi. (HR. Muttafaqun 'alaihi).
Dalam riwayat Muslim disebutkan : "Meski
pun tidak keluar mani"
- Meninggal
Seseorang yang meninggal maka wajib atas
orang lain yang masih hidup untuk memandikan jenazahnya. Dalilnya adalah sabda
Nabi Saw tentang orang yang sedang ihram tertimpa kematian :
اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
Rasulullah SAW bersabda"Mandikanlah
dengan air dan daun bidara’. (HR. Bukhari dan Muslim)
- Haidh
Haidh atau menstruasi adalah kejadian
alamiyah yang wajar terjadi pada seorang wanita dan bersifat rutin bulanan.
Keluarnya darah haidh itu justru menunjukkan bahwa tubuh wanita itu sehat.
Dalilnya adalah firman Allah SWT dan juga sabda Rasulullah SAW :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah
kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan
menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS.
Al-Baqarah : 222)
إِذَا أَقْبَلَت ِالحَيْضُ فَدَعِي الصَّلاَةَ فَإِذَا ذَهَبَ قَدْرَهَا فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَليِّ
Nabi SAW bersabda’Apabila haidh tiba
tingalkan shalat apabila telah selesai (dari haidh) maka mandilah dan
shalatlah. (HR Bukhari dan Muslim)
- Nifas
Nifas adalah darah yang keluar
dari kemaluan seorang wanita setelah melahirkan. Nifas itu
mewajibkan mandi janabah meski bayi yang dilahirkannya itu dalam keadaan
mati. Begitu berhenti dari keluarnya darah sesudah persalinan atau melahirkan
maka wajib atas wanita itu untuk mandi janabah.
Hukum nifas dalam banyak hal lebih sering
mengikuti hukum haidh. Sehingga seorang yang nifas tidak boleh shalat puasa
thawaf di baitullah masuk masjid membaca Al-Quran menyentuhnya
bersetubuh dan lain sebagainya.
- Melahirkan
Seorang wanita yang melahirkan anak meski
anak itu dalam keadaan mati maka wajib atasnya untuk melakukan mandi janabah.
Bahkan meski saat melahirkan itu tidak ada darah yang keluar. Artinya meski
seorang wanita tidak mengalami nifas namun tetap wajib atasnya untuk mandi
janabah lantaran persalinan yang dialaminya.
h.
Terbuka Aurat Secara Sengaja
Bila seseorang yang sedang melakukan
shalat tiba-tiba terbuka auratnya, maka shalatnya otomatis menjadi batal.
Maksudnya bila terbuka dalam waktu yang lama. Sedangkan bila hanya terbuka
sekilas dan langsung ditutup lagi, para ulama mengatakan tidak batal menurut
As-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah.
Namun Al-Malikiyah mengatakan secepat
apapun ditutupnya, kalau sempat terbuka, maka shalat itu sudah batal dengan sendirinya.
Namun perlu diperhatikan bahwa yang
dijadikan sandaran dalam masalah terlihat aurat dalam hal ini adalah bila
dilihat dari samping, atau depan atau belakang. Bukan dilihat dari arah bawah
seseorang. Sebab bisa saja bila secara sengaja diintip dari arah bawah,
seseorang akan terlihat auratnya. Namun hal ini tidak berlaku.
i.
Bergeser Dari Arah Kiblat
Bila seserang di dalam shalatnya melakukan
gerakan hingga badannya bergeser arah hingga membelakangi kiblat, maka
shalatnya itu batal dengan sendirinya.
Hal ini ditandai dengan bergesernya arah
dada orang yang sedang shalat itu, menurut kalangan As-Syafi'iyah dan
Al-Hanafiyah. Sedangkan menurut Al-Malikiyah, bergesernya seseorang dari
menghadap kiblat ditandai oleh posisi kakinya. Sedangkan menurut Al-Hanabilah,
ditentukan dari seluruh tubuhnya.
Keharusan menghadap kitblat ini terutama
berlaku untuk shalat fardhu, sedangkan pada shalat sunnah, hukumnya tidak
seketat shalat fardhu, menghadap kiblat tidak menjadi syarat shalat. Hal itu
karena Rasulullah SAW pernah melakukannya di atas kendaraan
dan menghadap kemana pun kendaraannya itu mengarah.
Namun yang dilakukan hanyalah shalat
sunnah, adapun shalat wajib belum pernah diriwayatkan bahwa beliau pernah
melakukannya. Sehingga sebagian ulama tidak membenarkan shalat wajib di atas
kendaraan yang arahnya tidak menghadap kiblat.
2.
Meninggalkan Salah Satu Rukun Shalat
Apabila ada salah satu rukun shalat yang
tidak dikerjakan, maka shalat itu menjadi batal dengan sendirinya. Dan
sebagaimana kita bahas sebelumnya, bahwa rukun shalat itu ada 13 perkara,
bahkan sebagian ulama menambahi bilangannya, sesuai dengan perbedaan pendapat
masing-masing.
Maka bila salah satu dari rukun-rukun itu
tidak dikerjakan, seketika itu juga shalat menjadi batal hukumnya.
a.
Kehilangan Niat
Seseorang yang sedang shalat, lalu
tiba-tiba niatnya berubah, maka shalatnya menjadi batal.
Yang dimaksud dengan berubah niat disini
adalah bila terbetik niat untuk menghentikan shalat yang sedang dilakukannya di
dalam hatinya, maka saat itu juga shalatnya telah batal. Sebab niatnya telah
rusak, meski dia belum melakukan hal-hal yang membatalkan shalatnya.
Karena niat itu menjadi salah satu rukun
shalat yang utama dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, atau menjadi syarat sah shalat
dalam pandangan mazhab yang lain. Maka seorang yang melakukan shalat, bila
kehilangan salah satu rukun atau syarat sah shalat, otomatis shalatnya pun
menjadi rusak, alias batal.
b.
Tidak Membaca Surat Al-Fatihah
Seluruh ulama sepakat bahwa membaca surat
Al-Fatihah adalah bagian dari rukun shalat. Sehingga bila ada orang yang
sengaja atau lupa tidak membaca surat Al-Fatihah lalu langsung ruku', maka
shalatnya menjadi batal.
Dalilnya adalah hadits nabawi yang secara
tegas menyebutkan tidak sahnya shalat tanpa membaca surat Al-Fatihah :
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ القُرْآنِ
Dari Ubadah bin Shamit ra berkata bahwa
Rasulullah SAW bersabda,”Tidak sah shalat kecuali dengan membaca ummil-quran
(surat Al-Fatihah)"(HR. Bukhari Muslim)
Namun dalam hal ini dikecualikan dalam
kasus shalat berjamaah dimana memang sudah ditentukan bahwa imam menanggung
bacaan fatihah makmum, sehingga seorang yang tertinggal takbiratul ihram dan
mendapati imam sudah pada posisi rukuk, dibolehkan langsung ikut ruku' bersama
imam dan telah mendapatkan satu rakaat.
Demikian pula dalam shalat jahriyah (suara
imam dikeraskan), dengan pendapat yang mengatakan bahwa bacaan Al-Fatihah imam
telah menjadi pengganti bacaan Al-Fatihah buat makmum, maka bila makmum tidak membacanya,
tidak membatalkan shalat.
c.
Rukun-rukun Lainnya
Dan rukun-rukun shalat lainnya masih
banyak, tetapi kalau salah satunya tidak dikerjakan, maka shalat orangitu batal
jadinya.
- Tidak Berdiri
- Tidak Ruku'
- Tidak I'tidal
- Tidak Sujud
- Tidak Duduk Antara Dua Sujud
- Tidak Duduk Tasyahhud Akhir
- Tidak Membaca Lafazdz Tasyahhud Akhir
- Tidak Membaca Shalawat
- Tidak Mengucapkan Salam Pertama
- Tidak Tertib
- Tidak Thuma'ninah
3.
Berbicara di Luar Shalat
Sebenarnya shalat itu adalah gabungan dari
perkataan dan gerakan. Maka pada dasarnya shalat itu adalah berbicara atau
berkata-kata.
Namun yang dimaksud dengan berbicara yang
membatalkan shalat maksudnya adalah pembicaraan yang diluar shalat, di antara
pembicaraan dengan sesama manusia secara lisan (verbal), di luar dari yang
telah ditetapkan sebagai bacaan shalat.
Dasar larangan berbicara di dalam shalat
antara lain adalah hadits-hadits berikut ini :
كُنَّا نَتَكَلَّمُ فيِ الصَّلاَةِ يُكَلِّمُ الرَّجُلُ مِنَّا صَاحِبَهُ وَهُوَ إِلىَ جَنْبِهِ حَتَّى نَزَلَتْ: وَقُومُوا للهِ قَانِتِيْنَ فَأُمِرْناَ بِالسُّكُوتِ وَنُهِيْنَا عَنِ الكَلاَمِ
Dari Zaid bin Al-Arqam radhiyallahuanhu
berkata,"Dahulu kami bercakap-cakap pada saat shalat. Seseorang ngobrol
dengan temannya di dalam shalat. Yang lain berbicara dengan yang disampingnya.
Hingga turunlah firman Allah SWT "Berdirilah untuk Allah dengan khusyu".
Maka kami diperintahkan untuk diam dan dilarang berbicara dalam shalat". (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah)
Selain itu juga ada hadits lainnya :
إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيْهَا شَيْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هِيَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيْرُ وَقِرَاءَةُ القُرْآنِ
Shalat ini tidak boleh di dalamnya ada
sesuatu dari perkataan manusia. Shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan bacaan
Al-Quran (HR. Muslim, Ahmad, An-Nasa'i dan
Abu Daud)
Para ulama memasukkan ke dalam kategori
berbicara adalah menjawab sesuatu perkataan, baik perkataan imam dalam
bacaannya atau pun perkataan orang lain.
a.
Bicara Yang Membatalkan Shalat
Dan termasuk dalam perkara menjawab
perkataan orang lain misalnya :
- Tertawa
Masih dekat dengan berbicara adalah
tertawa. Jumhur ulama diantaranya Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah
sepakat bahwa orang yang tertawa dalam shalatnya, maka shalatnya batal.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
الْقَهْقَهَةُ تَنْقُضُ الصَّلاَةَ وَلاَ تَنْقُضُ الْوُضُوءَ
Dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah
SAW bersabda,"Tertawa itu membatalkan shalat tapi tidak membatalkan
wudhu" (HR.Ad-Daruquthuny)
Namun umumnya para ulama sepakat bahwa
batasan tertawa adalah tertawa yang sampai mengeluarkan suara. Sedangkan bila
tertawa itu hanya sebatas tersenyum, belumlah sampai batal puasanya.
Mazhab Asy-Syafi'iyah memberikan batasan
bila suara tertawa itu melebihi dua huruf, maka shalat itu batal.[1]
- Mengucapkan Salam dan Menjawabnya
Bila seseorang mengucapkan salam secara
sengaja dan sadar, maka shalatnya batal. Sebab fungsi salam di dalam shalat
adalah sebagai penutup dari shalat, sehingga bila penutup itu dilakukan, para
ulama mengatakan shalatnya otomatis selesai.
Dasarnya adalah hadits Nabi SAW yang
menyatakan bahwa salam adalah hal yang mengakhiri shalat.
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله r مِفْتَاحُ الصَّلاةِ الطَّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu
bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Kunci shalat itu adalah kesucian dan yang
mengharamkannya (dari segala hal di luar shalat) adalah takbir". (HR. Muslim)
Menjawab shalat memang hukumnya wajib.
Tetapi kalau dilakukan ketika shalat, jawaban salam itu membatalkan shalat.
- Membaca Shalawat
Ketika mendengar nama beliau SAW disebut,
memang disunahkan bagi kita untuk membaca shalatwat. Tetapi bil shalawat itu
diucapkan di dalam shalat, padahal bukan bagian dari ayat Al-Quran atau
tasyahhud, maka termasuk membatalkan.
- Mendoakan Orang Bersin
Orang yang bersin disunnahkan untuk
mengucapkan lafadz alhamdulilah, dan yang mendengar disunnahkan
mendoakan dengan lafadz yarhamukallah, lalu yang bersin disunnahkan
menjawab dengan lafadz yahdina wa yushlihu balakum.
Akan tetapi manakala semua itu dilakukan
di dalam shalat, maka batal shalat mereka.
- Mengucapkan Shadaqallahul-Adzhim
Sebagian orang ada yang terbiasa membaca
lafadz shadaqallahul-adzhim seusai membaca ayat-ayat Al-Quran.
Dan sebagian lainnya memakruhkan, karena takut dianggap bagian dari Al-Quran.
Lepas dari perbedaan pendapat di antara
mereka, yang pasti bila orang yang sedang shalat mengakhiri bacaan ayat
Al-Quran dengan lafadz tersebut, shalatnya batal.
- Mengucapkan Istirja'
Lafadz istirj’ adalah ucapan inna
lillahi wa inna ilaihi rajiun. Biasanya kita ucapkan manakala kita
menghadapi cobaan, bala’, musibah, kematian dan sebagainya, baik kita langsung
yang mengalaminya, atau dialami oleh orang lain.
Tetapi manakala lafadz itu diucapkan pada
saat seseorang melakukan shalat, maka shalatnya batal.
- Suara Tanpa Arti
Dan juga termasuk dikatakan telah
berbicara atau berkata-kata adalah apabila seseorang berdehem, mengaduh,
menangis, merintih, menguap dan sebagainya, semua itu dilakukan tanpa udzur
hingga mengeluarkan suara atau membentuk kata yang terdiri dari 2 huruf atau
lebih.
b.
Bicara Yang Tidak Membatalkan Shalat
Sedangkan bicara yang tidak termasuk
membatalkan shalat antara lain al-fathu dan doa-doa yang kita susun dan dibaca
di dalam shalat.
- Al-Fath
Dibolehkan bagi makmum mengingatkan bacaan
ayat Al-Quran yang imam melupakannya. Istilahnya adalah al-fath,
yang artinya 'membuka'. Maksudnya, membuka diamnya imam yang lupa atau bingung
dengan bacaannya yang tersilap. Asalkan niatnya untuk membaca Al-Quran dan
bukan untuk berdialog atau talqin, hukumnya boleh. Bahkan mazhab Asy-syafi'I
mewajibkannya.
Dasarnya adalah hadtis berikut :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ صَلاَةً فَقَرَأَ فِيْهَا فَلَبَسَ عَلَيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ لأِبيِ: أَصَلَّيْتَ مَعَنَا ؟ قَالَ : نَعَمْ . قَالَ: فَمَا مَنَعَكَ ؟
Dari Ibnu Umar radhiyallahu'anhu bahwa
Nabi SAW melakukan shalat dan membaca ayat Al-Quran, namun ada yang tersilap.
Ketika selesai shalat beliau bertanya kepada Ayahku (Umar bin
Al-Khttab),"Apakah kamu shalat bersama kita?". Umar
menjawab,"Ya". Nabi bertanya,"Apa yang menghalangimu (dari
mengingatkan Aku)?". (HR. Abu Daud)
Namun bila fath itu ditujukan kepada
selain imam, maka hukumnya membatalkan shalat.
Al-Fathu adalah istilah yang digunakan di
dalam shalat berjamaah, dimana makmum yang berada di belakang imam mengoreksi
bacaan atau gerakan imam yang keliru.
Rasulullah SAW mensyariatkan fath kepada
makmum bila mendapati imam yang lupa bacaan atau gerakan, sedangkan buat jamaah
wanita cukup dengan bertepuk tangan
التَّسْبِيحُ لِلرِّجَالِ وَالتَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ
Tasbih untuk laki-laki dan bertepuk buat
wanita (HR. Muslim)
Makmum boleh membetulkan bacaan imam yang
salah, keliru atau terlupa, dengan bersuara yang sekiranya bisa didengar oleh
imam.
Demikian juga makmum boleh menyebut lafadz subhanallah,
apabila mengetahui imam bersalah dalam gerakan, seperti hampir mau menambah
jumlah rakaat dari empat menjadi lima, atau sebaliknya, belum sampai empat
rakaat sudah mau duduk tahiyat akhir.
Ketika makmum mengucapkan tasbih ini,
tidak dianggap dia telah batal dari shalatnya. Sebab melakukan fath ini adalah
hal yang pernah ditetapkan oleh Rasulullah SAW.
- Melafadzkan Doa
Melafadz doa tidak membatalkan shalat,
karena pada dasarnya shalat itu memang doa. Bahkan di dalam shalat ada posisi
tertentu yang memang kita dianjurkan untuk memperbanyak doa.
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ العَبْدُ مِنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعاَءَ
Posisi paling dekat antara seorang hamba
dengan Tuhannya ketika sujud, maka perbanyaklah doa pada waktu sujud (HR. Muslim)
إنِّي نُهِيْتُ أَنْ أَقْرَأَ القُرْآنَ رَاكِعاً أَوْ سَاجِداً َفَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيْهِ الرَّبُ وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فيِ الدُّعَاءِ فَقُمن أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
Aku dilarang untuk membaca Al-Quran dalam
keadaan ruku’ atau sujud. Ketika ruku’ agungkanlah Rabb, sedangkan ketika sujud
maka berusahalah bersungguh-sungguh dalam doa, sehingga layak dikabulkan
untukmu.” (HR. Muslim)
Lafadz doa yang paling utama adalah lafadz
yang diambil dari ayat-ayat Al-Quran, kemudian dari sunnah Rasulullah SAW yang
ma’tsur. Namun bukan berarti berdoa dengan lafadz yang kita susun sendiri
menjadi terlarang.
Meski pun lafadz doa nampak seperti
pembicaraan di luar shalat, namun berdoa di dalam shalat dengan lafadz yang
kita karang sendiri dibolehkan. Syaratnya doa itu harus berbahasa Arab. Bila
doa itu dilakukan dalam bahasa Indonesia atau bahasa selain Arab, maka doa itu
termasuk dianggap lafadz di luar shalat.
4.
Bergerak di Luar Gerakan Shalat
Para ulama sepakat bahwa gerakan di luar
shalat yang dilakukan berulang-ulang akan membatalkan shalat. Namun mereka berbeda
pendapat dalam batasannya.
a.
Mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah
Batasan gerakan yang banyak menurut kedua
mazhab ini adalah apa yang diyakini oleh orang lain sebagai gerakan bukan
shalat, maka hal itu termasuk gerakan yang banyak. Tetapi bila orang lain masih
ragu-ragu apakah seseorang sedang shalat atau tidak, maka hal itu belum
membatalkan.
Ibnu Abidin mengatakan harus ditambahkan
bahwa gerakan yang banyak dan membatalkan shalat itu di luar dari gerakan untuk
membunuh ular dan kalajengking, karena Rasulullah SAW memerintahkan untuk
melakukannya.
b.
Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah
Yang dimaksud adalah gerakan yang banyak
dan berulang-ulang terus itu standarnya adalah al-‘urf. Al-‘Urf maksudnya
kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat. Bila di tengah masyarakat suatu
gerakan di dalam shalat dianggap sudah keluar dari konteks shalat, maka gerakan
itu membatalkan shalat. Sebaliknya, bila ‘urf di tengah masyarakat menganggap
gerakan itu masih dalam kategori shalat, maka shalatnya tidak batal.
Mazhab As-syafi'i memberikan batasan bahwa
dua langkah yang dilakukan oleh orang yang sedang shalat, belum termasuk
membatalkan, karena dianggap masih sedikit. Tetapi langkah yang ketiga sudah
membatalkan, karena tiga adalah angka banyak yang minimal. Demikian juga dengan
gerakan lainnya, bila sampai tiga kali gerakan berturut-turut sehingga
seseorang batal dari shalatnya.
Namun bukan berarti setiap ada gerakan
langsung membatalkan shalat. Sebab dahulu Rasulullah SAW pernah
shalat sambil menggendong anak (cucunya).
عَنْ أَبِى قَتَادَةَ الأَنْصَارِىِّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ يَؤُمُّ النَّاسَ وَأُمَامَةُ بِنْتُ أَبِى الْعَاصِ وَهْىَ ابْنَةُ زَيْنَبَ بِنْتِ النَّبِىِّ r عَلَى عَاتِقِهِ فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا وَإِذَا رَفَعَ مِنَ السُّجُودِ أَعَادَهَا
Dari Abi Qatadah radhiyallahuanhu berkata,
Aku pernah melihat Nabi SAW mengimami orang shalat, sedangkan Umamah binti
Abil-Ash yang juga anak perempuan dari puteri beliau, Zainab berada pada
gendongannya. Bila beliau SAW ruku' anak itu diletakkannya dan bila beliau
bangun dari sujud digendongnya kembali (HR.
Muslim)
Bahkan beliau SAW memerintah
orang yang sedang shalat untuk membunuh ular dan kalajengking (al-aswadain).
Dan beliau juga pernah melepas sandalnya sambil shalat. Kesemuanya gerakan itu
tidak termasuk yang membatalkan shalat.
Intinya kalau gerakan itu diciptakan
sendiri dan tidak termasuk gerakan di dalam shalat, lantas dilakukan
berulang-ulang, maka gerakan itu membatalkan shalat.
Sedangkan bila gerakan itu didasari dari
hadits Nabi SAW bahwa beliau pernah melakukannya di dalam shalat, maka hukumnya
tidak membatalkan shalat.
Sebab kalau kita mengatakan bahwa gerakan
itu membatalkan shalat, maka shalat Rasulullah SAW pun seharusnya kita bilang
batal. Padahal beliau justru sumber dalam masalah hukum-hukum shalat.
5.
Makan dan Minum
Makan dan minum termasuk perbuatan yang
membatalkan shalat. Namun para ulama berbeda pendapat tentang detail-detailnya.
a.
Al-Hanafiyah
Mazhab Al-Hanafiyah mengatakan walau pun
seseorang lupa menelan biji kecil, shalatnya dianggap batal. Demikian juga
gerakan mengunyah makanan bila tiga kali berturut-turut, meski tidak ditelan,
sudah dianggap membatalkan shalat.
Gula yang ada di mulut bila larut dengan
ludahnya, juga termasuk ke dalam hal yang membatalkan shalat.
Ibnu Abidin menyebutkan yang termasuk
kategori makan ada dua. Pertama, gerakan mengunyah makanan meski tidak ditelan.
Kedua, menelan makanan atau minuman meski tidak mengunyah.
b.
Al-Malikiyah
Mazhab Al-Malikiyah membedakan antara
makan minum yang disengaja dengan yang terlupa. Makan minum dengan sadar dan
sengaja, tentu membatalkan shalat. Namun bila makan dan minum itu dilakukan
tanpa sadar alias lupa, maka shalatnya tetap sah. Hal ini persis dengan bila
orang puasa dan terlupa sehingga memakan makanan di siang hari.
Untuk itu, orang yang makan sambil shalat,
kalau memang benar-benar lupa, disunnahkan untuk melakukan sujud sahwi.
c.
As-Syafi’iyah
Mazhab Asy-Syafi’iyah mengatakan bila
orang menelan makanan atau minuman, meski jumlahnya sangat sedikit atau kecil,
tetap saja membatalkan shalat. Bahkan meski dia tidak menginginkannya.
Mazhab ini juga menyebutkan bahwa
melakukan banyak gerakan mengunyah makanan termasuk hal yang membatalkan
shalat, meski makanan itu tidak sampai tertelan.
Hal-hal yang tidak termasuk membatalkan
dalam perkara makanan menurut mazhab ini antara lain : kasus terlupa, baru
kenal Islam, tidak ada ulama,
Orang yang makan waktu shalat karena lupa,
shalatnya tidak dianggap batal, sebagaimana orang yang makan karena terlupa
pada saat berpuasa.
Orang yang baru saja masuk Islam dan masih
jahil atas ilmu-ilmu syariah, bila dia shalat sambil memakan makanan atau
meminum minuman, dalam kadar tertentu diperbolehkan.
Bila ada orang Islam yang hidup terpisah
dari masyarakat Islam, tanpa ada ulama yang mengerti hukum Islam, lalu dia
shalat dan karena ketidak-tahuannya dia makan ketika shalat, dalam kasus ini
ada keringanan.
d.
Al-Hanabilah
Mazhab Al-Hanabilah membedakan antara
shalat fardhu dengan shalat sunnah. Orang yang sedang melakukan shalat fardhu
bila dia memakan sesuatu atau meminumnya, maka shalatnya batal. Meski pun yang
dimakan itu sedikit.
Namun bila makan dan minum pada waktu
shalat sunnah, maka hal itu tidak membatalkan shalatnya. Kecuali apabila jumlah
yang dimakan itu sangat banyak.
6.
Mendahului Imam dalam Shalat Jama'ah
Bila seorang makmum melakukan gerakan
mendahului gerakan imam, seperti bangun dari sujud lebih dulu dari imam, maka
batal-lah shalatnya. Namun bila hal itu terjadi tanpa sengaja, maka tidak
termasuk yang membatalkan shalat.
As-Syafi'iyah mengatakan bahwa batasan
batalnya shalat adalah bila mendahului imam sampai dua gerakan yang merupakan
rukun dalam shalat. Hal yang sama juga berlaku bila tertinggal dua rukun dari
gerakan imam.
7.
Terdapatnya Air bagi Yang Tayammum
Seseorang yang tidak mendapatkan air untuk
bersuci dari hadats, lalu bersuci dengan cara bertayammum untuk shalat, bila
ketika shalat tiba-tiba terdapat air yang bisa dijangkaunya dan cukup untuk
digunakan berwudhu', maka saat itu otomatis shalatnya batal.
Karena halangan dari bersuci dengan air
sudah tidak ada lagi. Maka begitu shalatnya batal, dia harus berwudhu' saat itu
dan mengulangi lagi shalatnya.
Lain halnya bila shalat sudah dikerjakan,
dan air baru kemudian ditemukan. Maka dalam keadaan seperti itu dia punya satu
di antara dua pilihan. Pertama, dia boleh mengulangi shalatnya dengan
berwudhu’. Kedua, dia tidak perlu lagi mengulangi shalatnya, karena sudah
ditunaikan secara sah.
Wallahu a'lam..
SumberDisini
Dengan Beberapa Pengeditan
No comments:
Post a Comment